Selasa, 25 Mei 2010

Setelah Anas Terpilih

Pagelaran politik internal Kongres II Partai Demokrat (PD) di Bandung telah usai. Anas Urbaningrum tak disangka-sangka terpilih secara dramatis (kalau bukan revolusioner) sebagai ketua umum partai tersebut untuk periode 2010-2015.

Anas memang punya karisma dan segenap modal politik lain untuk masuk ke arena pengandidatan walaupun penuh dengan liku-liku. Dibandingkan dengan pesaingnya yang dominan diberitakan (termasuk berita iklan), Andi Alifian Mallarangeng, Anas banyak berada dalam posisi defensifaktif. Khalayak mengira bahwa restu atas Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) adalah ke Andi, bukan Anas atau Marzuki Alie.

SBY sebelumnya dipandang sebagai sosok penentu yang menentukan terpilihnya ketua umum walaupun pandangan ini tidak sepenuhnya benar di arena kongres. Anas tidak mau dipatahkan oleh kebesaran iklan-iklan politik Andi serta dengan dukungan Edhie Baskoro Yudhoyono (Ibas) di tim Andi. Dengan langkah pasti dan rasa percaya diri yang tertata, Anas melangkah maju hingga ke titik penentuan.
Jangan ketinggalan berita tentang Piala Dunia 2010, hanya di Okezone.com

Bagi Anas, kompromi terakhir adalah pemungutan suara untuk membuktikan siapa yang paling banyak didukung oleh para penentu yakni yang punya suara dalam kongres. Anas dan timnya tentu saja punya strategi pemenangan yaitu dalam politik “memungkinkan berbagai ikhtiar”. Yang jelas Anas telah menang, lantas apa yang perlu dilakukan Anas Urbaningrum selanjutnya? Pertama kali yang harus dia lakukan adalah melakukan akomodasi kepada berbagai kader partai untuk memperkuat kepengurusannya secara solid dan efektif.

Anas tentu harus mampu secara cepat dan elegan memperbaiki hubungan dengan para pesaing politiknya (termasuk “Keluarga Cikeas”), dengan tetap melakukan komunikasi politik secara baik. Politik akomodasi ini dapat dilakukan, tetapi jangan sampai mengabaikan faktor kompetensi. Kedua, Anas harus menunjukkan dirinya konsisten dalam meletakkan posisi PD sebagai “partai tengah” dan partai kader.

Kecurigaan banyak kalangan bahwa apabila Anas memimpin PD, akan membuat PD sebagai partai tengah bergeser “ke kanan”, harus ditunjukkan bahwa hal itu tidak berdasar atau terlampau mengada-ada. Anas memang dikenal sebagai mantan aktivis Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), tetapi tidak berarti dia hendak “menghijaukan” PD.

Yang penting, bagaimana PD mampu menjadi partai kader yang baik dan konsisten. Ketiga, Anas harus berkonsentrasi betul dalam mengurus partai mengingat tantangan politik hari esok jauh lebih kompleks, apalagi pada 2014 SBY tidak lagi dapat diusung sebagai calon presiden kembali. Konstitusi kita di era reformasi ini membatasi masa jabatan presiden hingga dua periode pemerintahan saja.

SBY telah menjadi ikon politik PD, dan tampaknya dilengkapi pula dengan semakin menanjaknya popularitas Anas. Anas harus melepas jabatannya sebagai Ketua Fraksi PD di DPR, bahkan dari anggota DPR, dan membuat Kantor DPP PD sebagai rumahnya secara day to day. Keempat, di atas semua itu, Anas diberikan kesempatan untuk membuktikan bahwa dirinya adalah pemimpin politik yang sejati.

Ia harus konsisten dengan pola pikir atau mindset kepemimpinan politik yang tentu berbeda dengan mindset kepemimpinan bisnis, birokrasi, atau militer. Ia harus berpikir dan melakukan tindakan yang muaranya adalah untuk memperkuat kelembagaan partai, sebagai konsekuensi modernisasi PD, serta demi mempertahankan, bahkan meningkatkan prestasi politik PD dalam berbagai pemilu.***

Selanjutnya, tentu saja, Anas harus dapat bekerja sama dengan berbagai kalangan, dan menyinergiskannya. Dalam struktur organisasi baru PD, posisi ketua umum memang bukan yang paling atas. Ketua umum segaris dengan Dewan Pembina, dan di atasnya terdapat Majelis Tinggi yang anggotanya kolektif. Jadi, ketua umum PD berbeda konteksnya dengan Ketua Umum Partai Golkar misalnya yang kekuatan politiknya sentral. Meskipun demikian, posisi, peran, dan fungsi Ketua Umum PD masihlah signifikan.

Gaya kepemimpinan politik Anas dalam mengendalikan PD tentu akan menjadi sorotan berbagai kalangan. Gaya Anas memang mirip SBY dalam beberapa segi. Dalam berkomunikasi misalnya dia tenang. Bahasanya tertata dan argumentatif. Anas juga akan dihadapkan pada persoalan, bagaimana mengatasi konflik politik, baik internal maupun eksternal. Dinamika politik akan selalu diwarnai konflik dan konsensus, dan Anas harus mampu untuk berlayar memagang kemudi partainya dalam mengatasi konflik dan menciptakan konsensus yang produktif bagi partainya.

Setelah Anas terpilih, jauh keluar PD, bisa menjadi suatu inspirasi bagi partai-partai lain dalam proses regenerasi kepemimpinannya. Tampilnya Anas merupakan fenomena bahwa kaum muda dan kader aktivis ternyata dapat menemukan jalan untuk tampil. Tua atau muda dalam politik sesungguhnya kurang relevan dipertentangkan asal mereka punya kompetensi. Dan Anas masih muda, tetapi juga punya kompetensi politik yang andal.

Terpilihnya Anas membuktikan bahwa partai politik, bahkan sekelas PD sekalipun, masih sangat terbuka menyediakan jalan bagi regenerasi kepemimpinan kaum muda. Meskipun bukan figur muda yang pertama memimpin partai politik, boleh dikatakan, Anas adalah yang termuda memimpin sebuah partai terbesar di Indonesia saat ini. Tentu saja bobotnya menjadi lebih tinggi.

Jalan politik yang ditempuh Anas, sebagai bagian dari kader politik muda untuk memilih berkarier di partai politik, merupakan sesuatu yang sudah on the right track. Tentu saja yang di luar jalur partai juga perlu diapresiasi, tetapi reaksi antipartai hendaknya jangan dilakukan secara berlebihan. Setelah Anas terpilih, dalam konteks ini, semakin menegaskan bahwa jalur partai politik bagi kaum muda terbuka. Manakala demokrasi internal berjalan dengan baik, dengan adanya pasar persaingan sempurna kompetisi politiknya, peluang bagi yang muda untuk tampil sangat terbuka lebar.***

Terlepas dari suka atau tidak suka, terpilihnya Anas menandakan kehadiran hawa segar di tubuh partai yang berfilosofikan demokrasi ini. PD berhasil menepis pandangan, kalau bukan mitos, keberadaan sosok sentral (Ketua Dewan Pembina) akan menghapuskan demokrasi.

SBY telah menunjukkan dirinya sebagai seorang demokrat yang menjaga proses demokrasi internal berjalan sedemikian rupa sehingga tidak ada alasan kuat untuk mengatakan proses demokrasi internal telah gagal. Tetapi, bagaimana apabila misalnya sosok Ketua Dewan Pembina tidak bijak dan tidak demokratis? Ini yang masih menyisakan persoalan.

PD mencoba mengambil jalan tengah dengan membuat struktur Majelis Tinggi yang bersifat kolektif. Tetapi, peran Dewan Pembina masih tetap menentukan. Dalam merespons demokrasi, partai-partai politik memang punya strategi sendiri-sendiri. Tetapi, tetap saja sebuah rumus baku berlaku, yakni manakala demokrasi internal tidak terselenggara dengan baik, partai itu mudah pecah dan karenanya berjangka pendek.

Setelah Anas terpilih, kalangan internal PD tetap harus bersikap kritis bagi kemajuan partainya, sementara publik luas berharap agar PD di bawah Ketua Umum Anas Urbaningrum mampu berkontribusi positif dalam menjaga dan meningkatkan kualitas demokrasi di Indonesia. Hal ini bisa dipahami mengingat tidak hanya kader PD yang berharap Anas mampu memimpin dengan baik partainya sebagai pilar demokrasi di Indonesia, tetapi juga semua pihak yang berkepentingan dengan berjalannya demokrasi secara fair. Wallahu-’alam. (*)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar