A. Karakteristik Kesempurnaan Ajaran Islam
Islam adalah ajaran yang syamil mutakamil (sempurna
dan menyeluruh). Syumuliyatul Islam artinya kesempurnaan
Islam. Ajaran Islam menyeluruh meliputi semua
zaman, kehidupan, dan eksistensi manusia.
Ia mengatur mulai urusan pribadi,
keluarga, masyarakat, hingga
urusan negara. Islam juga mengatur masalah sosial, budaya, ekonomi, politik, hukum, keamanan, pendidikan,
bahkan masalah lingkungan. Islam sebagai agama
penyempurna yang selalu
terbuka dengan adanya perubahan
zaman yang semakin modern.
Dalam memahami karakteristik agama Islam, maka sangat
penting bagi setiap muslim untuk
mengetahui item-item penting tentang kesempurnaan Islam itu sendiri karena akan dapat menghasilkan
pemahaman Islam yang komprehensif. Beberapa
karakteristik dalam kesempurnaan agama Islam antara
lain :
1.
Rabbaniyah (Bersumber Langsung dari Allah SWT)
Islam merupakan manhaj Rabbani (konsep Allah), baik dari
aspek akidah, ibadah, akhlak, syariat, dan peraturannya semua
bersumber dari Allah.
2.
Insaniyah ’Alamiyah (Humanisme Yang Bersifat Universal)
Islam merupakan petunjuk bagi seluruh manusia, bukan
hanya untuk suatu kaum atau golongan. Hukum Islam bersifat universal, dan dapat
diberlakukan disetiap bangsa dan negara.
3.
Syamil Mutakamil (Integral
Menyeluruh Dan Sempurna)
Islam membicarakan seluruh sisi kehidupan manusia, mulai
dari yang masalah kecil sampai dengan masalah yang besar.
4.
Al-Basathah (Elastis,
Fleksibel, Mudah)
Islam adalah agama fitrah bagi manusia, oleh karena itu
manusia niscaya akan mampu melaksanakan segala perintah-Nya tanpa ada
kesulitan, tetapi umumnya yang menjadikan sulit adalah manusia itu sendiri.
5.
Al-’Adalah (Keadilan)
Islam datang untuk mewujudkan keadilan yang sebenar-
benarnya, untuk mewujudkan persaudaraan dan persamaan di tengah-tengah
kehidupan manusia, serta memelihara darah (jiwa), kehormatan, harta, dan akal
manusia.
6.
Keseimbangan (Equilibrium,
Balans, Moderat)
Dalam ajaran Islam, terkandung ajaran yang senantiasa
menjaga keseimbangan antara kepentingan pribadi dan kepentingan umum, antara
kebutuhan material dan spiritua serta antara dunia dan akhirat.
7.
Perpaduan antara
Keteguhan Prinsip dan Fleksibilitas
Ciri khas agama Islam yang dimaksud adalah perpaduan
antara hal-hal yang bersifat prinsip (tidak berubah oleh apapun) dan menerima
perubahan sepanjang tidak menyimpang dari batas syariat.
8.
Graduasi (Berangsur-Angsur/Bertahap)
Hukum atau ajaran-ajaran yang diberikan Allah kepada
manusia diturunkan secara berangsur-angsur sesuai dengan fitrah manusia. Jadi
tidak secara sekaligus atau radikal.
9.
Argumentatif Filosofis
Ajaran Islam bersifat argumentatif, tidak bersifat
doktriner. Dengan demikian Al- Quran dalam menjelaskan setiap persoalan senantiasa
diiringi dengan bukti-bukti atau keterangan-keterangan yang argumentatif dan
dapat diterima dengan akal pikiran yang sehat (rasional religius).
B.
Ragam Pemahaman Islam di
Indonesia
Apabila kita mencermati perkembangan mutakhir (kontemporer)
di tanah air, banyak sekali bermunculan berbagai corak pemikiran dan gerakan
Islam di Indonesia. Corak pemikiran tersebut antara lain adalah fundamentalis,
teologis normatif, eksklusif, rasionalis, modernis, kultural, dan juga
inklusif-pluralis.
Corak pemikiran Islam di Indonesia dipandang cukup
signifikan. Hal tersebut dikarenakan semakin berkembangnya pemikiran-pemikiran
Islam yang dulunya masih bersifat tradisional hingga menjadi modern atau
kontemporer seperti sekarang ini.
Perkembangan pemikiran Islam tersebut, tidak lepas dari
campur tangan tokoh-tokoh yang mempeloporinya. Sebagian tokoh-tokoh yang
berkontribusi dalam pengembangan pemikiran Islam di Indonesia tersebut
diantaranya adalah Harun Nasution, Kuntowijoyo, Moeslim Abdurrahman, Fazlur
Rahman, Nurcholish Madjid, Abdurrahman Wahid, dan juga Mukti Ali.
Pada dasarnya, munculnya pemikiran-pemikiran Islam yang
beraneka ragam tersebut dilatarbelakangi oleh beberapa hal, baik itu secara
eksternal ataupun internal. Menurut nurcholish madjid, latar belakang dari
munculnya pemikiran yang dicetuskannya adalah karena keprihatinan dan
pertanyaan terhadap sejumlah permasalahan mendasar. Permasalahan tersebut
mengenai keadaan umat Islam yang dinilai tertinggal oleh kereta Indonesia yang
sedang menuju stasiun modernisasi.
Mayoritas umat Islam, seolah-olah dianggap merasa asing di
negeri sendiri. Hal tersebut dikarenakan partisipasi umat Islam terhadap
persoalan besar di Indonesia sangat terbatas. Beradaptasi dari hal di atas,
misi Islam yang diyakini sebagai rahmat li al’aalamin tidak teraktualisasi.
Intinya, bagaimana kesadaran Islam yang substantif seharusnya diaktualisasikan
dalam konteks Indonesia yang sedang menghadapi berbagai persoalan modern.
Dengan kondisi diatas, maka dapat diurai dan dianalisis
secara sosiologis beberapa aliran-aliran
pemikiran Islam yang ada di Indonesia sebagai berikut :
1.
Pemikiran Islam
Fundamentalis
Kata fundamentalis berasal dari bahasa
Inggris yang berarti pokok, asas, dan fundamentil. Islam fundamentalis yaitu sikap
dan pandangan yang berpegang teguh pada hal-hal yang dasar dan pokok dalam
Islam dengan tidak mempertentangkannya dengan ilmu dan teknologi.
Paham ini memiliki ciri-ciri eksklusif,
doktriner, keras, radikal dan politis. Menurut Abuddin Nata, pemikiran ini
diwakili oleh Dr. Zulfikar dan kelompoknya, serta Kartosuwiryo di masanya.
Munculnya corak pemikiran ini merupakan respon terhadap arah politik dan
kondisi sosial yang cenderung memojokkan agama.
Berbeda hal dengan Nurcholis Madjid yang
melihat fundamentalisme dari sudut pandang politik, yaitu suatu gerakan yang
menimbulkan sikap ekstremis, fanatisme, atau bahkan terorisme dalam mewujudkan
keinginannya untuk mempertahankan keyakinan keagamaan. Kaum fundamentalis ingin
kembali ke masa Rasulullah secara murni baik dari pakaian maupun tingkah laku.
Selain itu, kaum fundamentalis ingin kembali ke alam dan tidak setuju terhadap
industri yang akhirnya akan merusak kehidupan manusia dan makhluk lain.
Intinya, Islam fundamentalis adalah upaya
untuk kembali kepada dasar-dasar agama, dan mempersempit pemahaman agama sehingga
cenderung tektualis.
2.
Pemikiran Islam Teologis-Normatif
Islam teologis-normatif adalah paham yang
meyakini bahwa ajaran Islam adalah wahyu Tuhan yang wajib diyakini dan diterima
sebagai kebenaran mutlak dan tidak boleh digugat. Paham ini muncul sebagai
respon terhadap pandangan yang dinilai kurang meyakini kekuasaan Tuhan dan
cenderung berpikir pragmatis.
Amin Abdullah mengatakan bahwa ciri-ciri
Islam teologis-normatif ini antara lain: bercorak literalis, tekstualis, atau skriptualis. Kelompok
penganut paham ini adalah kebanyakan Muslimin Indonesia pengikut
teologi klasik Asy’ariyah.
3.
Pemikiran Islam
Eksklusif
Islam eksklusif adalah sikap keberagamaan
yang memandang bahwa keyakinan, pandangan, pikiran, dan prinsip diri sendirilah
yang paling benar. Sementara itu, keyakinan, pandangan, pikiran dan prinsip
yang dianut orang lain salah, sesat, dan harus dijauhi. Akibat dari hal
tersebut, kaum pemikiran eksklusif ini tidak mau menerima saran, masukan dan pemikiran
yang berasal dari luar.
Paham ini muncul disebabkan oleh beberapa
faktor. Faktor-faktor tersebut antara lain karena pemahamannya terhadap
teks-teks agama yang tekstual, wawasan pemikirannya yang sempit, dan
faktor-faktor historis, dimana dalam perkembangannya Islam pernah
mengalami konflik dengan
agama lain seperti Nasrani.
4.
Pemikiran Islam Rasional
Islam rasional yaitu Islam yang dalam
menjelaskan ajaran-ajarannya tidak hanya mengandalkan pendapat wahyu, tetapi
juga mengikutsertakan akal pikiran yang nantinya digunakan untuk memperkuat
dalili-dalil yang terdapat dalam ajaran agama. Ciri-ciri pemikirannya adalah 1)
menggunakan akal pikiran dalam memperkuat argumen, tanpa meninggalkan wahyu, 2)
selalu mencari hikmah yang dapat diterima akal dari suatu ajaran agama, dan 3)
selalu berpikir sistematik, radikal, dan universal.
Corak pemikiran ini banyak diikuti oleh
kelompok Muslim intelektual dan akademisi. Tokoh pelopor pemikiran Islam
rasional ini adalah Harun Nasution. Harun Nasution berusaha menguakkan
bagian-bagian ajaran Islam yang kurang diungkapkan secara terbuka sebelumnya di
Indonesia ini, ataupun yang memang tidak dibicarakan sama sekali.
Harun Nasution berusaha memberi orientasi
tertentu tentang Islam, yang lain daripada yang biasa berkembang sebelumnya.
Munculnya pemikiran ini dilatarbelakangi oleh
keadaan umat Islam yang stagnan karena taklid, takut mendayagunakan akal untuk memahami
Islam, dan dominannya pemikiran Islam yang
mitologis.
5.
Pemikiran Islam
Transformatif
Islam transformatif adalah Islam yang
mengubah keadaan masyarakat yang terbelakang menjadi masyarakat yang maju,
membentuk masyarakat yang biadab menjadi beradab, dan menuju masyarakat yang
memiliki keseimbangan material dan spiritual.
Menurut Kuntowijoyo, salah satu
kepentingan terbesar Islam sebagai sebuah idiologi sosial adalah bagaimana
mengubah masyarakat sesuai cita-cita dan visinya mengenai transformasi sosial.
Ciri-ciri pemikiran transformatif ini
adalah 1) selalu berorientasi pada pembentukan dan pengubahan masyarakat Islam,
2) menuntut keseimbangan antara formalisme dan simbolisme dalam agama, 3)
konsen kepada tema-tema pemberdayaan kaum
dhu’afa dan tertindas, atau mereka yang tidak mendapat keuntungan dari suatu sistem,
4) untuk memahami
permasalahan, dipergunakan teori-teori atau ilmu-ilmu sosial.
6.
Pemikiran Islam Aktual
Islam aktual yaitu Islam yang dihayati
dan dipraktekkan dalam kenyataan hidup sehari-hari di masyarakat, serta dalam
interaksinya dalam memecahkan berbagai masalah sosial kemasyarakatan, ekonomi,
politik, dan sebagainya.
Dengan kata lain, Islam aktual adalah
Islam dalam kenyataan bukan Islam sebagai konsep. Adapun ciri-cirinya adalah 1)
lebih menekankan perilaku, aksi, dan karya nyata daripada sekedar berbicara
konsep, 2) bersifat pribadi, dan amat beragam bentuk dan corak aksinya. Dapat
dikatakan, corak pemikiran Islam aktual ini mirip dengan semangat Islam
transformatif.
7.
Pemikiran Islam
Kontekstual
Islam kontekstual yaitu Islam yang dalam
penjabarannya senantiasa memperhatikan situasi dan kondisi dimana Islam
dikembangkan. Islam kontekstual memahami teks-teks agama sekaligus dengan konteks
ruang dan waktu dimana teks itu muncul dan kemudian ditafsirkan dari waktu ke
waktu. Tujuannya adalah agar ajaran Islam senantiasa hidup dan relevan dengan
kebutuhan umat di berbagai zaman. Pemikiran ini berkembang di Indonesia berkat
pelopor seperti Fazlur Rahman, Nurcholish Madjid, dan Kuntowijoyo.
8.
Pemikiran Islam Esoteris
Islam esoteris yaitu suatu kajian tentang
Islam yang mengkonsentrasikan pembahasan pada segi pembersihan anggota batiniah
(bidang tasawuf) agar tercapai kesucian jiwa dan dengan demikian dapat
memperoleh hubungan dengan Tuhan. Corak pemahaman keislaman seperti ini akan
menjadi tujuan ideal yang akan dicapai dalam kehidupan di dunia ini.
9.
Pemikiran Islam
Tradisionalis
Islam tradisonalis yaitu Islam yang
senantiasa berpegang pada Al-Qur’an dan As- Sunnah yang dipahami dan
dipraktekkan oleh ulama terdahulu dalam bidang ilmu agama seperti fikih,
tafsir, kalam, tasawuf, dan lain sebagainya. Menurut Abuddin, Islam
tradisionalis dicirikan sebagai berikut: 1) eksklusif, 2) tidak membedakan
antara ajaran dan non ajaran, 3) berorientasi ke belakang, 4) cenderung
tekstualis-literalis, 5) cenderung kurang menghargai waktu, 6) tidak
mempermasalahkan masuknya suatu tradisi, 7) mengutamakan perasaan daripada
pikiran, 8) bersikap jabariyah dan teosentris, 9) kurang menghargai ilmu
pengetahuan dan teknologi, dan 10) jumud dan statis.
10.
Pemikiran Islam Modernis
Islam modernis yaitu paham keislaman yang
berusaha melakukan reinterpretasi terhadap ajaran Islam yang telah dipahami
oleh generasi terdahulu untuk disesuaikan dengan perkembangan modern.
Reinterpretasi tersebut dilakukan secara rasional, ilmiah, serta sejalan dengan
syari’at Tuhan baik yang terdapat di dalam Al-Qur’an ataupun As- Sunnah.
Pemikirannya bersifat rasional, dinamis,
progresif, dan sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan. Adapun tokoh dan
organisasi yang termasuk dalam kategori ini adalah Nurcholish Madjid dan
Muhammadiyah.
11.
Pemikiran Islam Kultural
Islam kultural adalah paham keislaman
yang dalam praktek keagamaan sangat longgar terhadap produk-produk budaya lokal
dan tidak bertujuan “mengislamkan” produk-produk tersebut secara legal-formal.
Pendekatan keislaman paham ini dapat mempengaruhi atau dipengaruhi oleh suatu
budaya.
12.
Pemikiran Islam
Inklusif-Pluralis
Secara etimologis, pluralisme berasal
dari kata pluralitas yang memiliki arti kebanyakan, kemajemukan dan keragaman.
Dalam pengertian generiknya, pluralisme merupakan pandangan yang mengafirmasi dan menerima
keragaman. Penggunaan istilah pluralisme dalam agama (pluralisme agama) yang
diartikan sebagai relasi damai antar agama yang berbeda.
Pluralisme ini merupakan bagian dari
sunnatullah sebagai kenyataan yang telah menjadi kehendak Allah SWT. Kelompok
pengikut paham ini biasanya dicirikan dengan sikap yang terbuka, mudah diajak untuk
berdialog, dan toleran terhadap keyakinan yang lain.
Corak pemikiran dan gerakan Islam di Indonesia menunjukan betapa beragamnya pemikiran Islam di tanah air ini yang dapat kita lihat disekeliling kita secara kasat mata, dan dari sini kita dapat dengan mudah membedakan dan memahami secara umum gambaran pelbagai pemikiran Islam yang ada di Indonesia termasuk di bagian yang mana kita berdiri dan munculnya sebuah pemahaman bahwa di dalam Islam sendiri memiliki corak pemikiran yang beragam, khususnya di Indonesia sehingga kita bisa saling menghormati dan menghargi di tengah kehidupan masyarakat yang plural.
C.
Paham Agama Islam menurut Muhammadiyah
Secara harfiah, Paham Islam dalam Muhammadiyah
bisa dikatagorikan sebagai
pemahaman yang berorientasi pada pedoman Al Qur'an dan As Sunnah yaitu
merujuk kepada sumber ajaran yang
utama yaitu Al Qur'an dan As Sunnah Shohihah dan Maqbulah yang otentik
dan dinamis serta berorientasi kepada
kemajuan.
Hal-hal yang berkaitan dengan
paham agama dalam Muhammadiyah secara garis besar dan pokok-pokoknya ialah sebagai berikut :
1. Agama,
yakni Agama Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad S.A.W. ialah apa yang
diturunkan Allah dalam Alquran dan yang disebut dalam Sunnah maqbulah, berupa
perintah-perintah, larangan-larangan, dan petunjuk-petunjuk untuk kebaikan
manusia di dunia dan akhirat.
2. Muhammadiyah
berkeyakinan bahwa Islam adalah Agama Allah yang diwahyukan kepada para
Rasul-Nya sejak Nabi Adam, Nuh, Ibrahim, Musa, Isa, dan seterusnya sampai
kepada Nabi Muhammad S.A.W., sebagai hidayah dan rahmat Allah kepada umat
manusia sepanjang masa, dan menjamin kesejahteraan hidup materiil dan
spirituil, duniawi dan ukhrawi
3. Muhammadiyah
bekerja untuk terlaksananya ajaran-ajaran Islam yang meliputi bidang-bidang:
(a) ‘Aqidah; Muhammadiyah bekerja untuk tegaknya aqidah Islam yang murni,
bersih dari gejala-gejala kemusyrikan, bid’ah dan khurafat, tanpa mengabaikan
prinsip toleransi menurut ajaran Islam; (b) Akhlaq; Muhammadiyah bekerja untuk
tegaknya nilai-nilai akhlaq mulia dengan berpedoman kepada ajaran- ajaran
Alquran dan Sunnah Rasul, tidak bersendi kepada nilai-nilai ciptaan manusia; (c)
‘Ibadah; Muhammadiyah bekerja untuk tegaknya ‘ibadah yang dituntunkan oleh
Rasulullah S.A.W. tanpa tambahan dan perubahan dari manusia; (d) Mu’amalah
dunyawiyat; Muhammadiyah bekerja untuk terlaksananya mu’amalah dunyawiyat
(pengolahan dunia dan pembinaan masyarakat) dengan berdasarkan ajaran Agama serta
menjadikan semua kegiatan dalam bidang ini sebagai ‘ibadah kepada Allah S.W.T.
4. Islam
adalah agama untuk penyerahan diri semata-mata karena Allah, agama semua Nabi,
agama yang sesuai dengan fitrah manusia, agama yang menjadi petunjuk bagi
manusia, agama yang mengatur hubungan dengan Tuhan dan hubungan manusia dengan
sesama, dan agama yang menjadi rahmat bagi semesta alam.
5. Bahwa
dasar muthlaq untuk berhukum dalam agama Islam adalah Alquran dan Sunnah.
6. Muhammadiyah
dalam memaknai tajdid mengandung dua pengertian, yakni pemurnian (purifikasi)
dan pembaruan (dinamisasi).
Di antara langkah-langkah untuk menanamkan (memantapkan)
kembali paham Islam dalam Muhammadiyah ialah sebagai berikut :
1. Majelis
Tarjih memproduksi/menghasilkan berbagai pedoman/tuntunan tentang ajaran Islam
dalam berbagai aspek kehidupan baik yang menyangkut aqidah, ibadah, akhlak,
maupun mu’amalat duniawiyah secara lengkap, mudah dipahami, dan bervariasi
untuk dijadikan pedoman dan dimasyarakatkan/dipublikasikan sesuai dengan
keputusan-keputusan Muktamar/Munas Tarjih.
2. Pimpinan
Persyarikatan diikuti oleh Organisasi Otonom, amal usaha, dan berbagai
institusi dalam Muhammadiyah di berbagai tingkatan dari Pusat hingga Ranting
menggiatkan kembali Kajian Intensif Islam dalam Muhammadiyah
3. Menggiatkan
pengajian-pengajian umum yang membahas tentang Islam multiaspek dalam
Muhammadiyah baik secara rutin maupun dengan memanfaatkn momentum- momentum
tertentu.
4. Menyebarluaskan
paham agama (Islam) dalam Muhammadiyah ke berbagai lingkungan serta media
publik, termasuk melalui website, internet, dakwah seluler, dan sebagainya
sehingga paham Islam yang dikembangkan Muhammadiyah dapat dibaca, dipahami, dan
diamalkan oleh umat Islam dan masyarakat luas.
5. Menghidupkan
kembali kultum/pengajian singkat di berbagai kegiatan, yang antara lain
menjelaskan tentang berbagai aspek ajaran Islam yang dipahami dan dipraktikan
Muhammadiyah, sehingga bukan sekadar membahas masalah-masalah organisasi belaka,
kendati tetap penting.
Hal yang penting yang perlu menjadi pemahaman bersama bahwa
paham Islam dalam Muhammadiyah bersifat
komprehensif dan luas, sehingga tidak sempit dan parsial. Agama dalam pandangan
atau paham Muhammadiyah tidaklah sepotong-sepotong, serpihan- serpihan, dan
hanya hukum/fikih belaka. Paham agama yang ditanamkan bukan ajaran yang
terbatas, tetapi luas dan mulsti aspek. Karena Muhammadiyah merupakan gerakan
Islam, maka paham tentang Islam merupakan kewajiban atau keniscayaan yang
fundamental, yang intinya pada memperdalam sekaligus memperluas paham Islam
bagi seluruh warga Muhammadiyah, kemudian menyebarkan/mensosialisasikan dan
mengamalkan dalam kehidupan umat serta masyarakat sehingga
Islam yang didakwahkan Muhammadiyah membawa/menjadi rahmatan lil-‘alamin.
1.
Bidang Aqidah
Aqidah Islam menurut Muhamadiyah dirumuskan sebagai konsekuensi logis dari gerakannya. Formulasi aqidah yang dirumuskan dengan merujuk langsung
kepada suber utama ajaran Islam itu disebut ‘aqidah shahihah,yang menolak segala
bentuk campur tangan pemikiran
teologis. Karakteristik aqidah Muhammadiyah itu secara umum dapat dijelaskan sebagai
berikut :
a) Pertama, nash sebagai dasar rujukan.
Semangat kembali kepada Alquran dan Sunnah sebenarnya sudah menjadi tema umm
pada setiap Gerakan pembaharuan.
b) Kedua, keterbatasan peranan
akal dalam soal aqida Muhammadiyah termasuk kelompok yang memandang kenisbian akal dalam masalah
aqidah.
c) Ketiga, kecondongan berpandangan ganda terhadap
perbuatan manusia.
d) Keempat, percaya kepada qadha’ dan qadar.
e) Kelima, menetapkan sifat-sifat Allah.
2.
Bidang Hukum
Muhammadiyah melarang anggotanya bersikap taqlid, yaitu sikap mengikuti pemikiran ulama tanpa mempertimbangkan argumentasi logis. Dan sikap keberagaman menumal yang dibenarkan oleh Muhammadiyah adalah ittiba’, yaitu mengikuti pemikiran ulama dengan mengetahui dalil dan
argumentasi serta mengikutinya dengan pertimbangan logika.
Adapun pokok-pokok utama pikiran Muhammadiyah dalam bidang hokum yang dikembangkan oleh Majlis Tarjih antara lain:
a) Ijtihad dan istinbath atas dasar ‘illah terhadap hal-hal yang terdapat di
dalam nash, dapat dilakukan
sepanjang tidak menyangkut bidang ta’abbdi dan memang
merupakan hal yang diajarkan
dalam memenuhi kebutuhan hidup manusia.
b) Tidak
mengikatkan diri kepada suatu madzhab, tetapi pendapat madzhab dapat menjadi
bahan pertimbangan dalam menetapkan hukum.
c) Berprinsip
terbuka dan toleran dan tidak beranggapan bahwa hanya Majlis Tarjih yang paling
benar. Koreksi dari siapa pun akan diterima sepanjang diberikan dalil- dalil
yang lebih kuat.
d) Ibadah
ada dua macam, yaitu ibadah khusus, yaitu apa yang telah ditetapkan Allah akan
perincian-perinciannya, tingkah dan cara-caranya yang tertentu, dan ibadah
umum, yaitu segala perbuatan yang dibolehkan oleh Allah dalam rangka
mendekatkan diri kepada-Nya.
e) Dalam
bidang ibadah yang diperoleh
ketentuan-ketentuannya dari Alquran
dan Sunnah, pemahamannya dapat
menggunakan akal sepanjang diketahui latar belakang dan tujuannya.
3.
Bidang Akhlak
Dalam Matan Keyakinan dan Cita-cita Hidup Muhammadiyah
dijelaskan “Muhammadiyah bekerja untuk tegaknya nilai-nilai akhlaq mulia dengan
berpedoman kepada ajaran-ajaran Alquran dan Sunnah Rasul, tidak bersendi pada
nilai-nilai ciptaan manusia.”
Akhlak
adalah nilai-nilai dan sifat yang tertanam dalam jiwa yang menimbulkan
perbuatan-perbuatan dengan gampang dan mudah, tanpa memerlukan pemikiran dan
pertimbangan (Imam Ghazali). Nilai dan perilaku baik dan burruk seperti sabar,
syukur, tawakal, birrul walidaini, syaja’ah dan sebagainya (Al-Akhlaqul
Mahmudah) dan sombong, takabur, dengki, riya’, ‘uququl walidain dan sebagainya
(Al-Akhlaqul Madzmuham).
Adapun sifat-sifat akhlak Islam dapat digambarkan sebagai berikut :
a) Akhlaq Rabbani : Sumber akhlaq Islam
itu wahyu Allah yang termaktub dalam Al- Qur’an dan As-Sunnah, bertujuan
mendapatkan kebahagiaan dunia dan akhirat.
Akhlaq Islamlah moral yang tidak bersifat kondisional dan situasional,
tetapi akhlaq yang memiliki
nilai-nilai yang mutlak. Akhlaq rabbanilah yang mampu menghindari nilai moralitas
dalam hidup manusia (Q.S.) Al-An’am /
6 : 153).
b) Akhlak Manusiawi. Akhlaq dalam Islam
sejalan dan memenuhi fitrah manusia. Jiwa manusia
yang merindukan kebaikan, dan akan terpenuhi dengan mengikuti ajaran akhlaq dalam Islam. Akhlaq Islam benar-benar memelihara eksistensi manusia sebagai
makhluk terhormat sesuai dengan fitrahnya.
c) Akhlak Universal. Sesuai dengan
kemanusiaan yang universal dan menyangkut segala aspek kehidupan manusia baik
yang berdimensi vertikal, maupun horizontal. (Q.S. Al-An’nam : 151-152).
d) Akhlak Keseimbangan. Akhlaq Islam
dapat memenuhi kebutuhan sewaktu hidup di dunia maupun di akhirat, memenuhi
tuntutan kebutuhan manusia duniawi maupun ukhrawi secara seimbang, begitu juga
memenuhi kebutuhan pribadi dan kewajiban terhadap masyarakat, seimbang pula.
(H.R. Buhkori).
e) Akhlaq Realistik. Akhlaq Islam
memperhatikan kenyataan hidup manusia walaupun manusia dinyatakan sebagai
makhluk yang memiliki kelebihan dibanding dengan makhluk lain, namun manusia memiliki
kelemahan-kelemahan itu yaitu sangat mungkin melakukan kesalahan-kesalahan.
Oleh karena itu Allah memberikan kesempatan untuk bertaubat. Bahkan dalam
keadaan terpaksa. Islam membolehkan manusia melakukan yang dalam keadaan biasa
tidak dibenarkan. (Q.S. Al- Baqarah / 27
: 173)
4.
Bidang Mu’amalah
Dunyawiyah
Mua’malah : Aspek kemasyarakatan yang mengatur pegaulan
hidup manusia diatas bumi ini, baik tentang harta benda, perjanjian-perjanjian,
ketatanegaraan, hubungan antar negara dan lain sebagainya.
Di dalam prinsip-prinsip Majlis Tarjih poin 14 disebutkan
“Dalam hal-hal termasuk Al-Umurud Dunyawiyah yang tidak termasuk tugas para
nabi, menggunakan akal sangat diperlukan, demi untuk tercapainya kemaslahatan
umat.”
Adapun prinsip-prinsip mu’amalah
dunyawiyah yang terpenting antara
lain :
a)
Menganut
prinsip mubah.
b)
Harus
dilakukan dengan saling rela artinya tidak ada yang dipaksa.
c) Harus
saling menguntungkan. Artinya mu’amalah dilakukan untuk menarik mamfaat dan
menolak kemudharatan.
d)
Harus
sesuai dengan prinsip keadilan.
5.
Ijtihad Sebagai
Jalan dalam Mengambil
Hukum
Jalan Ijtihad yang ditempuh Majlis
Tarjih meliputi :
a) Ijtihad Bayan:
yaitu ijtihad terhadap ayat yang mujmal baik karena belum jelas maksud lafadz yang dimaksud,
maupun karena lafadz itu mengandung makna ganda, mengandung arti musytarak ataupun
karena pengertian lafadz dalam ungkapan
yang konteksnya mempunyai arti
yang jumbuh (mutasyabih) ataupun adanya beberapa dalil yang bertentangan
(ta’arrudl) dalam hal terakhir
digunakan cara jama’ dan
talfiq.
b) Ijma’: Kesepakatan para imam mujtahid di kalangan umat
Islam tentang suatu hukum Islam pada
suatu masa (masa sahabat setelah Rasulullah wafat). Menurut kebanyakan para ulama, hasilijma’ dipandang sebagai
salah satu sumber hukum Islam sesudah Alquran dan Sunnah. Pemikiran tentang
ijma’ berkembang sejak masa sahabat sampai masa sekarang, sampai masa para imam
mujtahid.
c) Qiyas: Menyamakan sesuatu hal yang tidak disebutkan hukumnya di dalam nash, dengan hal yang
disebutkan hukumnya di
dalamnash, karena adanya persamaan illat (sebab) hukum pada dua
macam hal tersebut, contoh: hukum wajib zakat
atas padi yang dikenakan pada gandum. Untuk Qiyas digunakan dalam bidang
muamalah duniawiyah, tidak berlaku untuk bidang ibadah mahdlah.
La qiyasa fil ibadah.
d) Maslahah, atau Istislah; Yaitu, menetapkan hukum yang sama sekali tidak disebutkan
dalam nash dengan pertimbangan untuk kepentingan hidup manusia yang bersendikan
mamfaat dan menghindarkan madlarat. Contoh, mengharuskan pernikahan dicatat,
tidak ada satu nash pun yang membenarkan atau membatalkan. Hal ini dilakukan
untuk memperoleh kepastian hukum atas terjadinya perkawinan yang dipergunakan
oleh negara. Hal ini dilakukan untuk melindungi hak suami istri. Tanpa
pencatatan negara tidak mempunyai dokumen otentik, atas terjadinya perkawinan.
e) Istihsan: yaitu memandang lebih baik, sesuai
dengan tujuan syariat, untuk meninggalkan ketentuan
dalil khusus dan mengamalkan dalil umum. Contoh: Harta zakat tidak boleh dipindah tangankan dengan cara dijual,
diwariskan, atau dihibahkan. Tetapi kalau tujuan perwakafan (tujuan syar’i) tidak mungkin tercapai, larangan
tersebut dapat diabaikan, untuk dipindah
tangankan, atau dijual,
diwariskan atau dihibahkan. Contoh: Mewakafkan
tanah untuk tujuan pendidikan Islam. Tanah tersebut terkena pelebaran jalan, tanah tersebut dapat dipindahtangankan dengan dijual, dibelikan tanah ditempat lain untuk pendidikan
Islam yang menjadi tujuan syariah diatas.
D.
Karakter Islam Berkemajuan Perspespektif Muhammadiyah
Dengan melihat sejarah
pertumbuhan dan perkembangan persyarikatan Muhammadiyah sejak kelahirannya, memperhatikan faktor-faktor yang melatarbelakangi berdirinya, aspirasi, motif, dan cita-citanya serta amal usaha
dan gerakannya, nyata sekali bahwa
didalammya terdapat ciri-ciri khusus yang menjadi identitas dari hakikat atau
jati diri Persyarikatan Muhammadiyah.
Secara jelas dapat diamati dengan mudah oleh siapapun yang secara sepintas mau memperhatikan
ciri-ciri perjuangan Muhammdiyah itu adalah sebagai berikut :
1. Muhammadiyah adalah gerakan Islam
2.
Muhammadiyah adalah
gerakan dakwah Islam amar ma’ruf nahi munkar
3. Muhammadiyah adalah gerakan
tajdid
1. Muhammadiyah sebagai
Gerakan Islam
Persyarikatan Muhammadiyah dibangun
oleh KH Ahmad Dahlan sebagi hasil kongkrit
dari telaah dan pendalaman (tadabbur) terhadap Alquranul Karim.
Faktor inilah yang sebenarnya paling utama yang
mendorong berdirinya Muhammadiyah, sedang faktor- faktor lainnya dapat dikatakan sebagai
faktor penunjang atau faktor perangsang semata. Dengan ketelitiannya yang sangat memadai
pada setiap mengkaji
ayat-ayat Alquran, khususnya
ketika menelaah surat
Ali Imran, ayat:104,
maka akhirnya dilahirkan amalan kongkret, yaitu lahirnya Persyarikatan Muhammadiyah. Kajian serupa ini telah
dikembangkan sehingga dari hasil kajian ayat-ayat tersebut oleh KHR
Hadjid dinamakan “Ajaran KH Ahmad Dahlan dengan kelompok
17, kelompok ayat-ayat
Alquran”, yang didalammya tergambar secara jelas asal-usul ruh, jiwa, nafas, semangat Muhammadiyah dalam pengabdiyannya kepada Allah SWT.
Dari latar belakang
berdirinya Muhammadiyah seperti
di atas jelaslah bahwa sesungguhnya kelahiran Muhammadiyah itu tidak lain karena diilhami,
dimotivasi, dan disemangati oleh
ajaran-ajaran Al-Qur’an karena itupula seluruh gerakannya tidak ada motif lain kecuali semata-mata untuk merealisasikan prinsip-prinsip ajaran Islam. Segala yang dilakukan Muhammadiyah, baik dalam
bidang pendidikan dan pengajaran, kemasyarakatan, kerumahtanggaan, perekonomian, dan sebagainya tidak dapat
dilepaskan dari usaha untuk mewujudkan dan melaksankan ajaran Islam. Tegasnya
gerakan Muhammadiyah hendak berusaha
untuk menampilkan wajah Islam dalam wujud yang riil, kongkret, dan nyata, yang dapat dihayati,
dirasakan, dan dinikmati oleh umat sebagai rahmatan lil’alamin.
2. Muhammadiyah sebagai
Gerakan Dakwah Islam
Ciri kedua dari gerakan Muhammadiyah dikenal sebagai
gerakan dakwah Islamiyah. Ciri yang kedua ini muncul sejak dari kelahirannya
dan tetap melekat tidak terpisahkan dalam jati diri Muahammadiyah. Sebagaimana
telah diuraikan dalam bab terdahulu bahwa faktor utama yang mendorong
berdirinya Persyarikatan Muhammadiyah berasal dari pendalaman KHA Dahlan
terdapat ayat-ayat Alquran Alkarim, terutama sekali surat Ali Imran, Ayat : 104. Berdasarkan
Surat Ali Imran, ayat : 104 inilah Muhammadiyah meletakkan khittah atau
strategi dasar perjuangannya, yaitu dakwah (menyeru, mengajak) Islam, amar
ma’ruf nahi munkar dengan masyarakat sebagai medan juangnya. Gerakan Muhammadiyah
berkiprah di tengah-tengah masyarakat bangsa Indonesia dengan membangun
berbagai ragam amal usaha yang benar-benar dapat menyentuh hajat orang banyak
seperti berbagai ragam lembaga pendidikan sejak taman kanak-kanak hingga
perguruan tinggi, membangun sekian banyak rumah sakit, panti-panti asuhan dan
sebagainya. Semua amal usaha Muhammadiyah seperti itu tidak lain merupakan
suatu manifestasi dakwah islamiyah. Semua amal usaha diadakan dengan niat dan
tujuan tunggal, yaitu untuk dijadikan sarana
dan wahana dakwah Islamiyah.
3. Muhammadiyah sebagi
Gerakan Tajdid
Ciri ke tiga yang melekat pada Persyarikatan Muhammadiyah
adalah sebagai Gerakan Tajdid atau Gerakan Reformasi. Muhammadiyah sejak semula
menempatkan diri sebagai salah satu organisasi yang berkhidmat menyebarluaskan
ajaran Agama Islam sebagaimana yang tercantum dalam Alquran dan Assunah,
sekaligus memebersihkan berbagai amalan umat yang terang-trangan menyimpang
dari ajaran Islam, baik berupa khurafat, syirik, maupun bid’ah lewat gerakan
dakwah. Muhammadiyah sebagai salah satu mata rantai dari gerakan tajdid yang
diawali oleh ulama besar Ibnu Taimiyah sudah barang tentu ada kesamaaan nafas,
yaitu memerangi secara total berbagai penyimpangan ajaran Islam seperti syirik,
khurafat, bid’ah dan tajdid, sbab semua itu merupakan benalu yang dapat merusak
akidah dan ibadah seseorang.
Sifat Tajdid yang dikenakan pada gerakan Muhammadiyah
sebenarnya tidak hanya sebatas pengertian upaya memurnikan ajaran Islam dari
berbagai kotoran yang menempel pada tubuhnya, melainkan juga termasuk upaya
Muhammadiyah melakukan berbagai pembaharuan cara-cara pelaksanaan Islam dalam
kehidupan bermasyarakat, semacam memperbaharui cara penyelenggaraan pendidikan,
cara penyantunan terhadap fakir miskin dan anak yatim, cara pengelolaan zakat
fitrah dan zakat harta benda, cara pengelolaan rumah sakit, pelaksanaan sholat
Id dan pelaksanaan kurba dan sebagainya.
Untuk membedakan antara keduanya maka tajdid dalam pengertian pemurnian dapat disebut purifikasi (purification) dan tajdid dalam pembaharuan dapat disebut reformasi (reformation). Dalam hubungan dengan salah satu ciri Muhammadiyah sebagai gerakan tajdid, maka Muhammadiyah dapat dinyatakan sebagai Gerakan Purifikasi dan Gerakan Reformasi.
E. Referensi
Agus Purwanto, Becoming Muhammadiyah: Autobiografi Gerakan kaum Islam Berkemajuan , Bandung, Mizan Pustaka,
2016.
Haedar Nashir, Memahami Ideologi
Muhammadiyah, Yogyakarta, Suara
Muhammadiyah,2014.
Hamdan Hambali, Ideologi dan Strategi Muhammadiyah, cet. III, Yogyakarta, Suara Muhammadiyah, 2008.
M. Djindar Tamimy, “Tajdid: Ideologi dan Chittah
Perdjoeangan Moehammadijah”, Prasaran, dalam Pimpinan
Pusat Muhammadiyah, Putusan
Mu’tamar Muhammadiyah ke – 37 dengan
Segala Rangkaiannya, PP.
Muhammadiyah, Yogyakarta, 1968.
Achmad Jaenuri, Ideologi Kaum Reforrmis: Melacak
Pandangan KeagamaanMuhammadiyah Periode
Awal, Surabaya, LPAM, 2002.
Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Putusan Mu’tamar Muhammadiyah, Manhaj Gerakan Muhammadiyah: Ideologi, Khittah,
dan Langkah, Yogyakarta: Suara Muhammadiyah dan Majlis Pendidikan Kader PP Muhammadiyah, 2010.
Antonius Sigit Suryanto, Marhaenisi Muhammadiyah, Yogyakarta, Galang Press,2010.
Agus Purwadi, Manhaj Tarjih Muhammadiyah: Metodologi dan Aplikasi, Yogyakarta,