Selasa, 25 Mei 2010

Parlemen Borjuis, Siapa Perlu?

Hasil penelitian Transparency International Indonesia (TII) tentang indeks korupsi lembaga-lembaga negara dan non-negara sepanjang tahun 2009 menempatkan DPR sebagai lembaga terkorup di Indonesia, diikuti lembaga peradilan dan partai politik di urutan kedua dan ketiga.

Hasil penelitian ini sebenarnya telah menciptakan “hattrick” bagi lembaga parlemen karena telah menjadi lembaga terkorup tiga kali, yaitu pada 2004 dan 2006.

Mafia Parlemen

Jika lembaga peradilan dan kepolisian dianggap terkorup, kita mungkin tidak menggugat karena rekam jejak lembaga itu selama ini. Ketika kasus “cicak versus buaya” muncul, yaitu saat KPK sangat progresif menyelesaikan masalah pidana korupsi dibandingkan kepolisian, polisi pun cemburu dan menjebak pimpinan lembaga ini agar tidak menjadi buaya lapar. Mereka pun memasang desain hukum agar cicak ketakutan.

Akhirnya jatuhnya citra KPK juga menjatuhkan citra pemerintahan SBY sebagai pemerintah yang konsisten pada penegakan hukum dan korupsi yang membudaya di Nusantara. Tinggallah lembaga kepolisian harus menyelesaikan masalah korupsi dan mafia hukumnya, padahal dirinya tidak bersih dari mafioso. Namun, menjuluki legislatif sebagai lembaga terkorup? Ini tentu memprihatinkan. Salah satu semangat Reformasi 1998 adalah memperkuat parlemen sebagai daulat rakyat dan bukan tukang stempel penguasa. Mungkin kita terima jika DPR dimasukkan sebagai lembaga korup (bukan terkorup). Melalui media terlihat lembaga rakyat itu belum menjadi tempat yang nyaman bagi rakyat.

Ada banyak cincai politik, kelompok, partai, dan percumbuan terlarang dengan eksekutif yang mengakibatkan parlemen belum menjadi lembaga pengawal kepentingan rakyat secara baik, melalui mekanisme legislasi, monitoring, dan penganggaran. Dapat dilihat, meskipun sejak Reformasi telah tiga kali berlangsung pemilu multipartai, kemilau parlemen sebagai matahari rakyat belum bersinar. Belum lagi kalau melihat banyaknya anggota parlemen yang masuk penjara akibat korupsi dan kolusi. Kuasa legislasi memungkinkan anggota parlemen membuat deal-deal kepentingan dengan korporat atau negara dalam memuluskan libido ekonominya melalui lahirnya perundangan. Tak terhitung berapa banyak anggota parlemen yang telah ditangkap tangan atau berdasarkan dokumen untuk mendukung diam-diam perusahaan dan konglomerasi.

Mulai masalah reklamasi, konsesi pertambangan, alihfungsi hutan dan ruang publik hingga kebijakan komersialisasi dan privatisasi sumber vital bangsa (telekomunikasi, bahan bakar, air, pulau, moneter dan fiskal). Dengan celah hukum longgar parlemen dapat berbuat seenak lututnya. Mereka menggunakan anggaran perjalanan dinas, anggaran panitia kerja atau khusus (ad hoc), aneka tunjangan, dan keistimewaan fasilitas kelengkapan Dewan lainnya untuk kepentingan yang tidak objektif diperlukan konstituen. Sikap heroik parlemen pasca-Reformasi ketika menggusur Presiden Habibie dan Gus Dur tidak dapat dikatakan citra baik DPR. Ini hanya kamuflase yang mengaburkan hasrat kuasa yang lebih besar dibandingkan hasrat altruistik, berkorban demi rakyat. Kita pun tahu, tragedi Gus Dur telah melahirkan kesadaran bahwa parlemen sangat mungkin menjadi diktator atas nama demokrasi.

Pasca-Setgab Koalisi

Dua hari pascapengumuman Sri Mulyani akan dipekerjakan sebagai Direktur Pelaksana Bank Dunia, peta politik di parlemen pun berubah. Aburizal Bakrie, yang menikam Partai Demokrat dalam kasus bailout Century, diangkat menjadi Ketua Harian Sekretariat Bersama (Setgab) Koalisi. Tujuan praksis Setgab adalah mengonsolidasikan kekuatan partai-partai pendukung pemerintah agar memiliki kestabilan politis baik di kabinet ataupun di parlemen. Bak sebuah orkestra, seluruh artikulasi para anggota Golkar yang sebelumnya kritis dan sangar menjadi santun dan protokoler ketika membicarakan kebijakan yang berhubungan dengan SBY.

Priyo Budi Santoso, Wakil Ketua DPR, menyebutkan kasus bailout Century sangat mungkin dipetieskan pascahengkangnya Sri Mulyani. Bukan sebuah ungkapan yang umum jika dilihat dari sikapnya dua bulan lalu. Di sini lemahnya struktur DPR bukan hanya karena pragmatisme Golkar dan lemahnya kritisisme partai-partai penguasa (Partai Demokrat, PAN, PKB, dan PPP), tetapi secara lebih luas menunjukkan bahwa tidak ada hubungan antara perubahan sistem elektoral legislatif dengan kualitas senator menjadi lebih berintegritas dan populis. Malah cenderung menjadi aristokrat tanggung, para bangsawan tuli dan serakah. Pemilu 2009 menjadi pemilu yang berbeda dibandingkan dengan pemilu sebelumnya.

Pada Pemilu 2009 baru diberlakukan sistem pemilihan orang secara murni dan tidak lagi proporsional partai. Pada Pemilu 2004 sistem memilih orang masih bersifat quasi, yaitu apabila tidak memenuhi rasio kecukupan suara akan dilimpahkan kepada nomor urut lebih tinggi. Pada Pemilu 2004 sempat terdengar “prahara Nurul Arifin”, memiliki suara lebih banyak dari Ade Kamaruddin tapi malah gagal meluncur ke Senayan. Hanya karena Ade berada di nomor urut satu dan itu jatah pengurus partai. Namun citra yang diperlihatkan Parlemen tidak sekuat kualitas demokrasi yang diusungnya. Lebih setahun sejak pemilu April 2009, DPR tidak makin membanggakan dalam mengusung Geist des Menchen, semangat rakyat yang kerap pedih sendiri.

Etika prosedural demokrasi telah dilangkahi oleh peraturan untuk peraturan atau peraturan untuk proyek (le droit pour le projet) dan bukan untuk rakyat (le droit pour le peuple). Munculnya pansus penegakan hukum, terkait diskriminasi hukum yang diterima Susno Duadji, belum tentu akan memperbaiki citra parlemen yang kembali jatuh pascarekonsiliasi Ical-SBY. Akan ada lagi kelompok kritis tersangkut kail kekuasaan, tinggal tunggu waktu. Dengan kuasa swaanggaran yang dimiliki, DPR telah mengatur untuk dirinya sendiri anggaran-anggaran kesejahteraan. Alokasi anggaran rutin dan operasional bagi DPR hingga Rp2 triliun dan biaya renovasi Gedung Nusantara Senayan sebesar Rp1,8 triliun menjadi bukti mereka tidak sensitif dengan kondisi rakyat yang masih terpuruk dalam kemiskinan dan kealpaan.

Dengan kekuatan partai koalisi hingga 65% (minus PKS), Partai Demokrat bisa memimpin rekan-rekannya untuk menolak kesewenangan anggaran, tapi tidak dilakukan. Maka jangan salahkan jika rakyat merasa pesimistis dengan masa depan demokrasi berbasis aristokrasi ini. Eksperimentasi demokrasi telah melahirkan banyak model dan konfigurasi, tetapi belum memberikan bobot pada isi. Jika kita mengingat kembali alasan Charles Louis de Secondat, Baron de la Brede et de Montesquieu tentang pentingnya parlemen, yaitu agar kekuasaan para raja tidak menumpuk dan adanya keseimbangan kekuasaan (balance of power), maka kehadiran parlemen terlihat perlu sekali. Namun kejadian hari ini legislatif tidak menjadi lembaga yang mendekatkan suara rakyat menderita kepada suara Tuhan yang perlu dibela dan dihormati.

Dengan kemapanan politik dan kedewasaan informasi yang dimiliki publik, sebenarnya publik selama ini telah mengadvokasi dirinya sendiri dari kesewenangan penguasa-pengusaha. Maka ketergantungan pada parlemen, termasuk membiayai kehidupan anggota Dewan yang jauh dari cukup, bisa ditangkis. Caranya, bekalilah sebuah parlemen yang fakir, yang benar-benar memahami bahwa anggota parlemen adalah advokat bagi rakyat. Ia paham sejak awal tidak akan dibekali fasilitas dan uang yang menghijaukan mata dan membuat iri tetangga.

Menjadi anggota Dewan berarti berjanji dengan komitmen, pengetahuan, dan talenta altruistiknya untuk membangun demokrasi dan kesejahteraan rakyat. Rakyat harus melakukan referendum jika anggota parlemen akan diberi privilese sedemikian mewah seperti saat ini karena rakyat juga hidup dengan bekerja dan bukan berleha-leha. Jika tidak bisa dilakukan itu semua, sungguh kita tidak memerlukan parlemen.(*)

Setelah Anas Terpilih

Pagelaran politik internal Kongres II Partai Demokrat (PD) di Bandung telah usai. Anas Urbaningrum tak disangka-sangka terpilih secara dramatis (kalau bukan revolusioner) sebagai ketua umum partai tersebut untuk periode 2010-2015.

Anas memang punya karisma dan segenap modal politik lain untuk masuk ke arena pengandidatan walaupun penuh dengan liku-liku. Dibandingkan dengan pesaingnya yang dominan diberitakan (termasuk berita iklan), Andi Alifian Mallarangeng, Anas banyak berada dalam posisi defensifaktif. Khalayak mengira bahwa restu atas Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) adalah ke Andi, bukan Anas atau Marzuki Alie.

SBY sebelumnya dipandang sebagai sosok penentu yang menentukan terpilihnya ketua umum walaupun pandangan ini tidak sepenuhnya benar di arena kongres. Anas tidak mau dipatahkan oleh kebesaran iklan-iklan politik Andi serta dengan dukungan Edhie Baskoro Yudhoyono (Ibas) di tim Andi. Dengan langkah pasti dan rasa percaya diri yang tertata, Anas melangkah maju hingga ke titik penentuan.
Jangan ketinggalan berita tentang Piala Dunia 2010, hanya di Okezone.com

Bagi Anas, kompromi terakhir adalah pemungutan suara untuk membuktikan siapa yang paling banyak didukung oleh para penentu yakni yang punya suara dalam kongres. Anas dan timnya tentu saja punya strategi pemenangan yaitu dalam politik “memungkinkan berbagai ikhtiar”. Yang jelas Anas telah menang, lantas apa yang perlu dilakukan Anas Urbaningrum selanjutnya? Pertama kali yang harus dia lakukan adalah melakukan akomodasi kepada berbagai kader partai untuk memperkuat kepengurusannya secara solid dan efektif.

Anas tentu harus mampu secara cepat dan elegan memperbaiki hubungan dengan para pesaing politiknya (termasuk “Keluarga Cikeas”), dengan tetap melakukan komunikasi politik secara baik. Politik akomodasi ini dapat dilakukan, tetapi jangan sampai mengabaikan faktor kompetensi. Kedua, Anas harus menunjukkan dirinya konsisten dalam meletakkan posisi PD sebagai “partai tengah” dan partai kader.

Kecurigaan banyak kalangan bahwa apabila Anas memimpin PD, akan membuat PD sebagai partai tengah bergeser “ke kanan”, harus ditunjukkan bahwa hal itu tidak berdasar atau terlampau mengada-ada. Anas memang dikenal sebagai mantan aktivis Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), tetapi tidak berarti dia hendak “menghijaukan” PD.

Yang penting, bagaimana PD mampu menjadi partai kader yang baik dan konsisten. Ketiga, Anas harus berkonsentrasi betul dalam mengurus partai mengingat tantangan politik hari esok jauh lebih kompleks, apalagi pada 2014 SBY tidak lagi dapat diusung sebagai calon presiden kembali. Konstitusi kita di era reformasi ini membatasi masa jabatan presiden hingga dua periode pemerintahan saja.

SBY telah menjadi ikon politik PD, dan tampaknya dilengkapi pula dengan semakin menanjaknya popularitas Anas. Anas harus melepas jabatannya sebagai Ketua Fraksi PD di DPR, bahkan dari anggota DPR, dan membuat Kantor DPP PD sebagai rumahnya secara day to day. Keempat, di atas semua itu, Anas diberikan kesempatan untuk membuktikan bahwa dirinya adalah pemimpin politik yang sejati.

Ia harus konsisten dengan pola pikir atau mindset kepemimpinan politik yang tentu berbeda dengan mindset kepemimpinan bisnis, birokrasi, atau militer. Ia harus berpikir dan melakukan tindakan yang muaranya adalah untuk memperkuat kelembagaan partai, sebagai konsekuensi modernisasi PD, serta demi mempertahankan, bahkan meningkatkan prestasi politik PD dalam berbagai pemilu.***

Selanjutnya, tentu saja, Anas harus dapat bekerja sama dengan berbagai kalangan, dan menyinergiskannya. Dalam struktur organisasi baru PD, posisi ketua umum memang bukan yang paling atas. Ketua umum segaris dengan Dewan Pembina, dan di atasnya terdapat Majelis Tinggi yang anggotanya kolektif. Jadi, ketua umum PD berbeda konteksnya dengan Ketua Umum Partai Golkar misalnya yang kekuatan politiknya sentral. Meskipun demikian, posisi, peran, dan fungsi Ketua Umum PD masihlah signifikan.

Gaya kepemimpinan politik Anas dalam mengendalikan PD tentu akan menjadi sorotan berbagai kalangan. Gaya Anas memang mirip SBY dalam beberapa segi. Dalam berkomunikasi misalnya dia tenang. Bahasanya tertata dan argumentatif. Anas juga akan dihadapkan pada persoalan, bagaimana mengatasi konflik politik, baik internal maupun eksternal. Dinamika politik akan selalu diwarnai konflik dan konsensus, dan Anas harus mampu untuk berlayar memagang kemudi partainya dalam mengatasi konflik dan menciptakan konsensus yang produktif bagi partainya.

Setelah Anas terpilih, jauh keluar PD, bisa menjadi suatu inspirasi bagi partai-partai lain dalam proses regenerasi kepemimpinannya. Tampilnya Anas merupakan fenomena bahwa kaum muda dan kader aktivis ternyata dapat menemukan jalan untuk tampil. Tua atau muda dalam politik sesungguhnya kurang relevan dipertentangkan asal mereka punya kompetensi. Dan Anas masih muda, tetapi juga punya kompetensi politik yang andal.

Terpilihnya Anas membuktikan bahwa partai politik, bahkan sekelas PD sekalipun, masih sangat terbuka menyediakan jalan bagi regenerasi kepemimpinan kaum muda. Meskipun bukan figur muda yang pertama memimpin partai politik, boleh dikatakan, Anas adalah yang termuda memimpin sebuah partai terbesar di Indonesia saat ini. Tentu saja bobotnya menjadi lebih tinggi.

Jalan politik yang ditempuh Anas, sebagai bagian dari kader politik muda untuk memilih berkarier di partai politik, merupakan sesuatu yang sudah on the right track. Tentu saja yang di luar jalur partai juga perlu diapresiasi, tetapi reaksi antipartai hendaknya jangan dilakukan secara berlebihan. Setelah Anas terpilih, dalam konteks ini, semakin menegaskan bahwa jalur partai politik bagi kaum muda terbuka. Manakala demokrasi internal berjalan dengan baik, dengan adanya pasar persaingan sempurna kompetisi politiknya, peluang bagi yang muda untuk tampil sangat terbuka lebar.***

Terlepas dari suka atau tidak suka, terpilihnya Anas menandakan kehadiran hawa segar di tubuh partai yang berfilosofikan demokrasi ini. PD berhasil menepis pandangan, kalau bukan mitos, keberadaan sosok sentral (Ketua Dewan Pembina) akan menghapuskan demokrasi.

SBY telah menunjukkan dirinya sebagai seorang demokrat yang menjaga proses demokrasi internal berjalan sedemikian rupa sehingga tidak ada alasan kuat untuk mengatakan proses demokrasi internal telah gagal. Tetapi, bagaimana apabila misalnya sosok Ketua Dewan Pembina tidak bijak dan tidak demokratis? Ini yang masih menyisakan persoalan.

PD mencoba mengambil jalan tengah dengan membuat struktur Majelis Tinggi yang bersifat kolektif. Tetapi, peran Dewan Pembina masih tetap menentukan. Dalam merespons demokrasi, partai-partai politik memang punya strategi sendiri-sendiri. Tetapi, tetap saja sebuah rumus baku berlaku, yakni manakala demokrasi internal tidak terselenggara dengan baik, partai itu mudah pecah dan karenanya berjangka pendek.

Setelah Anas terpilih, kalangan internal PD tetap harus bersikap kritis bagi kemajuan partainya, sementara publik luas berharap agar PD di bawah Ketua Umum Anas Urbaningrum mampu berkontribusi positif dalam menjaga dan meningkatkan kualitas demokrasi di Indonesia. Hal ini bisa dipahami mengingat tidak hanya kader PD yang berharap Anas mampu memimpin dengan baik partainya sebagai pilar demokrasi di Indonesia, tetapi juga semua pihak yang berkepentingan dengan berjalannya demokrasi secara fair. Wallahu-’alam. (*)

Kamis, 20 Mei 2010

Bangga Menjadi Ibu Rumah Tangga



Hebat rasanya ketika mendengar ada seorang wanita lulusan sebuah universitas ternama telah bekerja di sebuah perusahaan bonafit dengan gaji jutaan rupiah per bulan. Belum lagi perusahaan sering menugaskan wanita tersebut terbang ke luar negri untuk menyelesaikan urusan perusahaan. Tergambar seolah kesuksesan telah dia raih. Benar seperti itukah?
Kebanyakan orang akan beranggapan demikian. Sesuatu dikatakan sukses lebih dinilai dari segi materi sehingga jika ada sesuatu yang tidak memberi nilai materi akan dianggap remeh. Cara pandang yang demikian membuat banyak dari wanita muslimah bergeser dari fitrohnya. Berpandangan bahwa sekarang sudah saatnya wanita tidak hanya tinggal di rumah menjadi ibu, tapi sekarang saatnya wanita ‘menunjukkan eksistensi diri’ di luar. Menggambarkan seolah-olah tinggal di rumah menjadi seorang ibu adalah hal yang rendah.

Kita bisa dapati ketika seorang ibu rumah tangga ditanya teman lama “Sekarang kerja dimana?” rasanya terasa berat untuk menjawab, berusaha mengalihkan pembicaraan atau menjawab dengan suara lirih sambil tertunduk “Saya adalah ibu rumah tangga”. Rasanya malu! Apalagi jika teman lama yang menanyakan itu “sukses” berkarir di sebuah perusahaan besar. Atau kita bisa dapati ketika ada seorang muslimah lulusan universitas ternama dengan prestasi bagus atau bahkan berpredikat cumlaude hendak berkhidmat di rumah menjadi seorang istri dan ibu bagi anak-anak, dia harus berhadapan dengan “nasehat” dari bapak tercintanya: “Putriku! Kamu kan sudah sarjana, cumlaude lagi! Sayang kalau cuma di rumah saja ngurus suami dan anak.” Padahal, putri tercintanya hendak berkhidmat dengan sesuatu yang mulia, yaitu sesuatu yang memang menjadi tanggung jawabnya. Disana ia ingin mencari surga.

Ibu Sebagai Seorang Pendidik

Syaikh Muhammad bin Shalih al ‘Utsaimin rahimahullah mengatakan bahwa perbaikan masyarakat bisa dilakukan dengan dua cara: Pertama, perbaikan secara lahiriah, yaitu perbaikan yang berlangsung di pasar, masjid, dan berbagai urusan lahiriah lainnya. Hal ini banyak didominasi kaum lelaki, karena merekalah yang sering nampak dan keluar rumah. Kedua, perbaikan masyarakat di balik layar, yaitu perbaikan yang dilakukan di dalam rumah. Sebagian besar peran ini diserahkan pada kaum wanita sebab wanita merupakan pengurus rumah. Hal ini sebagaimana difirmankan Allah subhanahu wa ta’ala yang artinya:

“Dan hendaklah kalian tetap di rumah kalian dan janganlah kalian berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang jahiliyah yang dahulu dan dirikanlah sholat, tunaikanlah zakat dan taatilah Allah dan Rasul-Nya. Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa kalian, hai Ahlul Bait dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya.” (QS. Al-Ahzab: 33)

Pertumbuhan generasi suatu bangsa adalah pertama kali berada di buaian para ibu. Ini berarti seorang ibu telah mengambil jatah yang besar dalam pembentukan pribadi sebuah generasi. Ini adalah tugas yang besar! Mengajari mereka kalimat Laa Ilaaha Illallah, menancapkan tauhid ke dada-dada mereka, menanamkan kecintaan pada Al Quran dan As Sunah sebagai pedoman hidup, kecintaan pada ilmu, kecintaan pada Al Haq, mengajari mereka bagaimana beribadah pada Allah yang telah menciptakan mereka, mengajari mereka akhlak-akhlak mulia, mengajari mereka bagaimana menjadi pemberani tapi tidak sombong, mengajari mereka untuk bersyukur, mengajari bersabar, mengajari mereka arti disiplin, tanggung jawab, mengajari mereka rasa empati, menghargai orang lain, memaafkan, dan masih banyak lagi. Termasuk di dalamnya hal yang menurut banyak orang dianggap sebagai sesuatu yang kecil dan remeh, seperti mengajarkan pada anak adab ke kamar mandi. Bukan hanya sekedar supaya anak tau bahwa masuk kamar mandi itu dengan kaki kiri, tapi bagaimana supaya hal semacam itu bisa menjadi kebiasaan yang lekat padanya. Butuh ketelatenan dan kesabaran untuk membiasakannya.

Sebuah Tanggung Jawab

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, yang artinya:
“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya manusia dan batu, penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, yang keras, yang tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.” (QS. At Tahrim: 6)

Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala yang artinya: “Peliharalah dirimu dan keluargamu!” di atas menggunakan Fi’il Amr (kata kerja perintah) yang menunjukkan bahwa hukumnya wajib. Oleh karena itu semua kaum muslimin yang mempunyai keluarga wajib menyelamatkan diri dan keluarga dari bahaya api neraka.

Tentang Surat At Tahrim ayat ke-6 ini, Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu berkata, “Ajarkan kebaikan kepada dirimu dan keluargamu.” (Diriwayatkan oleh Al Hakim dalam Mustadrak-nya (IV/494), dan ia mengatakan hadist ini shahih berdasarkan syarat Bukhari dan Muslim, sekalipun keduanya tidak mengeluarkannya)

Muqatil mengatakan bahwa maksud ayat tersebut adalah, setiap muslim harus mendidik diri dan keluarganya dengan cara memerintahkan mereka untuk mengerjakan kebaikan dan melarang mereka dari perbuatan maksiat.

Ibnu Qoyyim menjelaskan bahwa beberapa ulama mengatakan bahwa Allah subhanahu wa ta’ala akan meminta pertanggungjawaban setiap orang tua tentang anaknya pada hari kiamat sebelum si anak sendiri meminta pertanggungjawaban orang tuanya. Sebagaimana seorang ayah itu mempunyai hak atas anaknya, maka anak pun mempunyai hak atas ayahnya. Jika Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, “Kami wajibkan kepada manusia agar berbuat baik kepada kedua orang tuanya.” (QS. Al Ankabut: 7), maka disamping itu Allah juga berfirman, “Peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang berbahan bakar manusia dan batu.” (QS. At Tahrim: 6)

Ibnu Qoyyim selanjutnya menjelaskan bahwa barang siapa yang mengabaikan pendidikan anaknya dalam hal-hal yang bermanfaat baginya, lalu ia membiarkan begitu saja, berarti telah melakukan kesalahan besar. Mayoritas penyebab kerusakan anak adalah akibat orang tua yang acuh tak acuh terhadap anak mereka, tidak mau mengajarkan kewajiban dan sunnah agama. Mereka menyia-nyiakan anak ketika masih kecil sehingga mereka tidak bisa mengambil keuntungan dari anak mereka ketika dewasa, sang anak pun tidak bisa menjadi anak yang bermanfaat bagi ayahnya.

Adapun dalil yang lain diantaranya adalah firman Allah subhanahu wa ta’ala yang artinya:
“dan berilah peringatan kepada kerabatmu yang dekat.” (QS asy Syu’ara’: 214)
Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhuma mengatakan bahwa Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda (yang artinya), “Kaum lelaki adalah pemimpin bagi keluarganya di rumah, dia bertanggung jawab atas keluarganya. Wanita pun pemimpin yang mengurusi rumah suami dan anak-anaknya. Dia pun bertanggung jawab atas diri mereka. Budak seorang pria pun jadi pemimpin mengurusi harta tuannya, dia pun bertanggung jawab atas kepengurusannya. Kalian semua adalah pemimpin dan bertanggung jawab atas kepemimpinannya.” (HR. Bukhari 2/91)
Dari keterangan di atas, nampak jelas bahwa setiap insan yang ada hubungan keluarga dan kerabat hendaknya saling bekerja sama, saling menasehati dan turut mendidik keluarga. Utamanya orang tua kepada anak, karena mereka sangat membutuhkan bimbingannya. Orang tua hendaknya memelihara fitrah anak agar tidak kena noda syirik dan dosa-dosa lainnya. Ini adalah tanggung jawab yang besar yang kita akan dimintai pertanggungjawaban tentangnya.

Siapa Menanam, Dia akan Menuai Benih

Bagaimana hati seorang ibu melihat anak-anaknya tumbuh? Ketika tabungan anak kita yang usia 5 tahun mulai menumpuk, “Mau untuk apa nak, tabungannya?” Mata rasanya haru ketika seketika anak menjawab “Mau buat beli CD murotal, Mi!” padahal anak-anak lain kebanyakan akan menjawab “Mau buat beli PS!” Atau ketika ditanya tentang cita-cita, “Adek pengen jadi ulama!” Haru! mendengar jawaban ini dari seorang anak tatkala ana-anak seusianya bermimpi “pengen jadi Superman!”

Jiwa seperti ini bagaimana membentuknya? Butuh seorang pendidik yang ulet dan telaten. Bersungguh-sungguh, dengan tekad yang kuat. Seorang yang sabar untuk setiap hari menempa dengan dibekali ilmu yang kuat. Penuh dengan tawakal dan bergantung pada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Lalu… jika seperti ini, bisakah kita begitu saja menitipkannya pada pembantu atau membiarkan anak tumbuh begitu saja?? Kita sama-sama tau lingkungan kita bagaimana (TV, media, masyarakat,…) Siapa lagi kalau bukan kita, wahai para ibu -atau calon ibu-?
Setelah kita memahami besarnya peran dan tanggung jawab seorang ibu sebagai seorang pendidik, melihat realita yang ada sekarang sepertinya keadaannya menyedihkan! Tidak semua memang, tapi banyak dari para ibu yang mereka sibuk bekerja dan tidak memperhatikan bagaimana pendidikan anak mereka. Tidak memperhatikan bagaimana aqidah mereka, apakah terkotori dengan syirik atau tidak. Bagaimana ibadah mereka, apakah sholat mereka telah benar atau tidak, atau bahkan malah tidak mengerjakannya… Bagaimana mungkin pekerjaan menancapkan tauhid di dada-dada generasi muslim bisa dibandingkan dengan gaji jutaan rupiah di perusahaan bonafit? Sungguh! sangat jauh perbandingannya.

Anehnya lagi, banyak ibu-ibu yang sebenarnya tinggal di rumah namun tidak juga mereka memperhatikan pendidikan anaknya, bagaimana kepribadian anak mereka dibentuk. Penulis sempat sebentar tinggal di daerah yang sebagian besar ibu-ibu nya menetap di rumah tapi sangat acuh dengan pendidikan anak-anak mereka. Membesarkan anak seolah hanya sekedar memberinya makan. Sedih! Padahal anak adalah investasi bagi orang tua di dunia dan akhirat! Setiap upaya yang kita lakukan demi mendidiknya dengan ikhlas adalah suatu kebajikan. Setiap kebajikan akan mendapat balasan pahala dari Allah Subhanahu wa Ta’ala. Tidak inginkah hari kita terisi dengannya? Atau memang yang kita inginkan adalah kesuksesan karir anak kita, meraih hidup yang berkecukupan, cukup untuk membeli rumah mewah, cukup untuk membeli mobil mentereng, cukup untuk membayar 10 pembantu, mempunyai keluarga yang bahagia, berakhir pekan di villa. Tanpa memperhatikan bagaimana aqidah, bagaimana ibadah, asal tidak bertengkar dan bisa senyum dan tertawa ria di rumah, disebutlah itu dengan bahagia.
Ketika usia senja, mata mulai rabun, tulang mulai rapuh, atau bahkan tubuh ini hanya mampu berbaring dan tak bisa bangkit dari ranjang untuk sekedar berjalan. Siapa yang mau mengurus kita kalau kita tidak pernah mendidik anak-anak kita? Bukankah mereka sedang sibuk dengan karir mereka yang dulu pernah kita banggakan, atau mungkin sedang asik dengan istri dan anak-anak mereka?

Ketika malaikat maut telah datang, ketika jasad telah dimasukkan ke kubur, ketika diri sangat membutuhkan doa padahal pada hari itu diri ini sudah tidak mampu berbuat banyak karena pintu amal telah ditutup, siapakah yang mendoakan kita kalau kita tidak pernah mengajari anak-anak kita?

Lalu…
Masihkah kita mengatakan jabatan ibu rumah tangga dengan kata ‘cuma’? dengan tertunduk dan suara lirih karena malu?
Wallahu a’lam

Maroji’:
1. Dapatkan Hak-Hakmu, Wahai Muslimah oleh Ummu Salamah as Salafiyyah. Judul asli: Al-Intishaar li Huquuqil Mu’minaat
2. Mendidik Anak bersama Nabi oleh Muhammad Nur Abdul Hafizh Suwaid. Judul Asli: Manhaj At-Tarbiyyah An-Nabawiyyah lit-Thifl