Kamis, 14 Mei 2009

Landasan Teori Advokasi

Landasan Teologis Advokasi
”Mahasiswa Berlawan Dalam Organisasi Muhammadiyah”
BEM_FATEK UMM

Tema - tema sosial, khususnya tema tentang membela rakyat kecil, kaum lemah dan tertindas (‘populisme’) adalah merupakan prinsip, sekaligus focus theologicus Islam. Pandangan tersebut, sejalan dengan cita-cita sosial Al-Quran sendiri—seperti disebutkan oleh Fazlur Rahman—yaitu menegakkan tata sosial yang etis (berlandaskan moral), egalitarian dan berkeadilan. Atau sejalan dengan tujuan dasar Islam seperti yang dikemukakan Asghor Ali Engineer, yaitu terciptanya persaudaraan universal (universal brotherhood), kesetaraan (equality) dan keadilan sosial (social justice). Dengan demikian, Islam sebenarnya memberikan landasan teologis yang kuat bagi suatu upaya pembelaan atau advokasi terhadap kaum lemah, miskin, terbelakang dan tertindas.
Tema-tema ‘populisme’ atau pembelaan terhadap kaum lemah (miskin, terbelakang, dan tertindas) serta cita-cita sosial Islam untuk menegakkan tata sosial yang etis, egalitarian dan berkeadilan yang dapat dijadikan landasan teologis bagi upaya advokasi di atas, lebih jauh dapat dilihat setidaknya dalam tiga aspek ajaran dan doktrin keagamaan Islam, yaitu pertama, aspek ajaran sosial Islam; kedua, pandangan Islam terhadap kaum lemah itu sendiri; dan ketiga, sejumlah doktrin dan ajaran fundamental Islam seperti tawhîd, al-musawah (kesetaraan), al-‘adalah (keadilan), dan jihâd (perjuangan dan praksis).
1. Ajaran Sosial Islam
Dasar-dasar ajaran sosial Islam yang dapat dipandang sebagai fokus theologicus-nya, dapat ditemukan dalam beberapa argumen berikut: pertama, Islam selalu mempertautkan antara kesalehan yang bersifat religius dengan kesalehan yang bersifat sosial. Artinya, Islam juga sangat mementingkan aspek sosial di samping aspek ritual.
Kedua, dasar ajaran sosial Islam ditunjukan dalam prinsip bahwa jika urusan ibadah bersamaan waktunya dengan urusan mu’amalah (sosial) yang penting, maka ibadah boleh diperpendek atau ditangguhkan. Ketiga, ibadah yang mengandung segi kemasyarakatan diberi ganjaran lebih besar daripada ibadah yang bersifat perorangan. Karenanya, shalat berjama’ah lebih tinggi nilainya daripada shalat munfarid (sendirian). Keempat, jika urusan ibadah dilakukan tidak sempurna atau batal karena melanggar pantangan tertentu, maka kifaratnya adalah melakukan sesuatu yang berhubungan dengan sosial. Misalnya, jika shaum wajib tidak mampu dilaksanakan, maka kifaratnya adalah fidyah atau memberi makan kepada orang miskin. Begitu juga, jika suami istri bercampur di siang hari pada bulan Ramadhan, maka tebusannya adalah memberi makan orang miskin atau memerdekakan budak. Dalam sebuah hadits qudsi dinyatakan bahwa salah satu tanda orang yang diterima shalatnya adalah menyantuni orang-orang lemah, menyayangi orang miskin, anak yatim, janda dan yang mendapat musibah.
Sejumlah riwayat di atas, menggambarkan ajaran fundamental sosial dan keimanan dalam Islam bahwa keimanan harus memberikan implikasi pada dimensi sosialnya. Inilah hakikat makna iman, yaitu memberikan arti terhadap makna sosialnya. Dengan kata lain, iman akan kehilangan arti pentingnya, jika tidak memiliki implikasi dalam dimensi sosialnya. Itulah sebabnya, dalam Al-Quran iman—tidak kurang dari 36 kali—selalu dikaitkan dengan amal saleh. Menurut Izutsu, kaitan terkuat dari hubungan semantiknya mengikat shâlih (kesalehan) dan îmân sebagai kesatuan yang tak terpisahkan. Seperti bayangan mengikuti bentuk bendanya, di mana ada îmân di situ ada shâlihat (amal shaleh).
2. Pandangan bem_fatek hari ini terhadap Kaum Lemah
Pandangan bem_fatek umm periode hari ini terhadap kaum lemah (mustadh’afîn) dalam konteks sosial (menyeluruh) berdasarkan hasil kajian-kajiannya dan diskusi kongkrit dengan mahasiswa muhammadiyah mataram sangatlah jelas, yaitu pertama, Islam secara tegas memandang kedudukan penting kaum lemah sebagai pemimpin dan pewaris bumi.

وَنُرِيدُ أَنْ نَمُنَّ عَلَى الَّذِينَ اسْتُضْعِفُوا فِي الْأَرْضِ وَنَجْعَلَهُمْ أَئِمَّةً وَنَجْعَلَهُمُ الْوَارِثِينَ
“Dan Kami hendak memberi karunia kepada orang-orang yang tertindas di bumi dan hendak menjadikan mereka pemimpin dan menjadikan mereka orang-orang yang mewarisi (bumi) (QS. al-Qashash [28]: 5)”.

Ayat ini merupakan penggalan dari rangkaian panjang yang menceritakan kisah Fir’aun sebagai representasi penguasa otoriter, diktator, eksploitatif, dan menindas serta Nabi Musa dan kaumnya, Bani Israil sebagai representasi masyarakat yang lemah dan tertindas. Dalam ayat sebelumnya dijelaskan mengenai kekuasaan Fir’aun yang hegemonik, melakukan kesewenang-wenangan, represif dan menindas rakyatnya. Di antara kebijakannya yang dipandang represif, menindas dan eksploitatif adalah membuat peta konflik (memecah belah) masyarakatnya, membunuh setiap anak laki-laki dan membiarkan hidup anak-anak perempuan. Di kampus UMM konteks praktek ini telah mulai muncul dan dipropagandakan dengan bermain menggunakan jalur-jalur birokrasi tanpa pernah melakukan suatu pemetaan sosial yang senantiasa untuk eksistensi organisasi sepihak. Dalam bahasa politik, kebijakan ini dapat dipandang sebagai upaya memperlemah posisi civil society dan membatasi ruang kebebasannya berorganisasi di muhammadiyah, sehingga tidak lagi kritis dan dapat mengontrol (check and balance) serta mengganggu supremasi kekuasaannya.
Kedua, bem_fatek memandang suatu kepentingan dan keharusan untuk berpihak, melakukan pembelaan, dan memperjuangkan hak–hak mahasiswa sebagai kaum intelektual yang mengalami kelemahan berpikir akibat ketertindasan sistem/aturan yang mengikat. Pandangan ini digambarkan oleh Al-Quran dalam surat al-Nisa’ [4]: 75, yang berbunyi:

وَمَا لَكُمْ لَا تُقَاتِلُونَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَالْمُسْتَضْعَفِينَ مِنَ الرِّجَالِ وَالنِّسَاءِ وَالْوِلْدَانِ الَّذِينَ يَقُولُونَ رَبَّنَا أَخْرِجْنَا مِنْ هَذِهِ الْقَرْيَةِ الظَّالِمِ أَهْلُهَا وَاجْعَل لَنَا مِنْ لَدُنْكَ وَلِيًّا وَاجْعَل لَنَا مِنْ لَدُنْكَ نَصِيرًا
“Mengapa kamu tidak mau berperang di jalan Allah dan (membela) orang-orang yang lemah baik laki-laki, wanita-wanita maupun anak-anak yang semuanya berdo`a: “Tuhan kami, keluarkanlah kami dari negeri ini yang zalim penduduknya dan berilah kami pelindung dan penolong dari sisi Engkau" (QS. al-Nisa’ [4]: 75).

Dengan demikian, bem_fatek selain memandang kedudukan yang penting terhadap mahasiswa intelektual (sebagai kaum lemah yang tertindas akibat sistem/birokrasi/aturan) sebagai pemimpin dan pewaris dunia, juga mengharuskan untuk berpihak, melakukan pembelaan dan memperjuangkan kepentingan mereka sesuai tuntutan islam.
Ketiga, bem_fatek sejak awal melontarkan kritik sosial terhadap berbagai bentuk eksploitasi serta ketiadaan rasa tanggung jawab sosial (sense of social responsbility) melalui berbagai kegiatan-kegiatan aksinya baik diluar maupun didalam fakulty/kampus sendiri. Surat-surat awal Al-Quran seperti al-Ma’un, al-Kautsar, al-Humazah, al-Fajr, al-Layl dan al-Balad, menjadi landasan yang menunjukkan kecaman terhadap praktek akumulasi kekayaan yang diperoleh melalui etika keserakahan, serta sikap eksploitasi sosial-ekonomi dalam bentuk ketidakpedulian terhadap penderitaan anak-anak yatim dan orang-orang miskin.
3. Doktrin dan Ajaran Fundamental Islam
Sebagaimana telah dikemukakan bahwa landasan teologis upaya advokasi terhadap kaum lemah, juga dapat dirumuskan dalam sejumlah doktrin dan ajaran fundamental Islam, yaitu di antaranya adalah doktrin tawhîd, al-musâwah, al-‘adalah dan jihâd. Berikut mungkin penjelasan singkat mengenai keempat doktrin tersebut dalam kaitannya dengan upaya advokasi kaum lemah dan tertindas.
a. Tauhid
Doktrin tauhîd atau ajaran tantang me-Maha Esa-kan Tuhan, tidak sekedar pesan milik Islam saja, melainkan juga sebagai hati atau inti semua agama. Dalam Islam, tauhid merupakan konsep sentral yang berisi ajaran bahwa Tuhan adalah pusat dari segala sesuatu, dan bahwa manusia harus mengabdikan diri sepenuhnya kepada-Nya. Konsep tauhid ini mengandung implikasi doktrinal lebih jauh bahwa tujuan kehidupan manusia tak lain kecuali menyembah kepada Tuhan. Kepatuhan kepada Tuhan dan ketaatan kepada perintah-Nya inilah yang menjadi raison d’etre manusia. Menjadikan tuhan selain Allah (syirik) merupakan dosa besar yang tidak terampuni, karena bukan saja secara teologis tidak diterima sebagai akidah yang benar, melainkan juga secara sosiologis mengakibatkan perendahan terhadap harkat martabat manusia yang dimuliakan Tuhan. Tidak sampai di situ, praktek syirik (politeisme) juga berkaitan erat atau bahkan melahirkan sikap ekploitatif terhadap komunitas miskin, permainan kotor dalam perdagangan dan ketiadaan tanggung jawab terhadap masyarakat.
Oleh karena itu—seperti digambarkan dalam surat-surat awal Al-Quran—ide tauhid ini sejak awal telah menjadi dasar fundamental dalam menciptakan tata sosial yang etis (berlandaskan moral), egalitarian dan berkeadilan, khususnya dalam mengeliminir praktek keagamaan politheisme (penyembahan berhala), eksploitasi kaum miskin, permainan kotor dalam perdagangan serta ketiadaan tanggung jawab sosial. Dengan demikian, seperti dikemukan Asghor Engineer, doktrin tauhid tidak hanya mempunyai konsekwensi religius, tapi juga mempunyai implikasi sosial ekonomi.
Ali Syari’ati menyebutkan bahwa tauhid dalam Islam merupakan suatu pandangan dunia, yang hidup dan penuh makna, menentang keserakahan dan bertujuan memberantas penyakit yang muncul dari penumpukan uang dan penyembahan harta. Ia menghapus stigma eksploitasi, konsumerisme, dan aristokrasi ketika jiwa tauhid bangkit kembali dan peran historisnya disadari oleh seseorang, jiwa itu akan memulai kembali misinya [yang belum berakhir] demi kesadaran, keadilan, kemerdekaan manusia, pembangunan dan pertumbuhan.
Dalam pengertian ini, faham tauhid selalu terkait dengan prinsip kemanusiaan, rasa keadilan sosial dan ekonomi yang harus diwujudkan dalam kehidupan kongkrit bermasyarakat. Meminjam bahasa filasafat perennial, bahwa komitmen imani sebagai respons terhadap sapaan kasih Tuhan yang berpusat dari pemahaman dan keyakinan Ketuhanan Yang Esa (tauhid), harus selalu melangkah dan bergerak pada tahapan praksis untuk melayani manusia sebagai sesama hamba Tuhan. Dengan ungkapan lain, tauhid atau perjalanan iman yang bermula dari pengetahuan dan keyakinan terhadap Tuhan selalu dan harus bergerak ke muara kehidupan kongkrit berupa amal kebajikan.
Rangkaian tauhid adalah paham tertentu tentang hakikat dan martabat manusia. Bertauhid (mengimani ke-Maha Esa-an Tuhan) adalah jalan hidup yang dapat mempertahankan ketinggian martabat manusia karena semangat tauhid itu dengan sendirinya atau seharusnya membawa dampak pembebasan. Yaitu pembebasan dari sesuatu yang akan membawa kepada pengingkaran harkat kemanusiaan itu sendiri. Dengan komitmen tauhid yang dimulai dari adanya keyakinan dan kesadaran bahwa Tuhan Yang Maha Esa berada di atas manusia, maka dari sini muncullah keinsafan akan keterbatasan dan kelemahan yang selanjutnya melahirkan sikap kemanusiaan sehingga tidak meninggikan posisi manusia dan tidak mendudukannya pada posisi yang lemah. Melalui peresapan yang mendalam terhadap ke-Maha Esa-an Tuhan (tauhid) ini, akan melahirkan kehidupan yang penuh moral, yang akan termanifestasi bukan saja dalam aspek sosio-ekonomi, tapi juga dalam aspek sosio-politiknya dengan sikap penegakan keadilan di antara sesama manusia.
Dengan demikian, doktrin tauhid sesungguhnya dapat dan seharusnya menjadi landasan teologis bagi suatu upaya atau gerakan advokasi (pembelaan) dan pembebasan kaum lemah ( semua ummat ) yang tertindas dari srtuktur yang menindas dan tidak berkeadilan.

b. Al-Musâwah (Egalitarianisme)
Salah satu pemikiran penting dari doktrin tauhid adalah bahwa kesadaran tauhid bukan hanya melahirkan kesadaran akan keesaan atau kesatuan ketuhanan (united of God), melainkan juga harus melahirkan kesadaran akan kesatuan kemanusiaan (united of mankind). Jika Tuhan adalah Esa, maka ummatnya pun adalah esa, dalam arti bahwa manusia merupakan ummat yang satu dan karena itu, memiliki derajat yang sama. Doktrin persamaan atau kesetaraan (al-musâwah, equality ini mengandung pemahaman bahwa: pertama, manusia adalah setara secara sosial dan politik. Kedua, oleh karena semua manusia setara secara sosial dan politik, maka setiap orang harus diperlakukan dengan pertimbangan dan perhatian yang sama (tidak diskriminatif), baik dalam memperoleh keadilan hukum dan kesempatan, maupun dalam hal-hal pendidikan dan pemenuhan kebutuhan manusiawi.
Doktrin kesetaraan ini dapat dirujuk pada ajaran Al-Quran dalam surat al-Hujurat [49]: 13, yang berbunyi:

يَاأَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَأُنْثَى وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ
Artinya: “Hai manusia! Kami telah menciptakanmu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling mengenal. Sesungguhnya, orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling ber-taqwâ”.

Dapat disimpulkan bahwa ayat 13 surat al-Hujurat di atas memberikan wawasan atau visi mengenai prinsip egalitarianisme, yaitu bahwa harkat dan martabat manusia ditentukan oleh kualitas ketaqwaannya. Visi egalitarianisme atau kesetaraan dalam ayat tersebut, dapat dipahami lebih jelas lagi jika melihat latar historis (asbâb nuzûl)nya. Setidaknya, terdapat dua riwayat yang menjelaskan latar historis turunya ayat di atas, yaitu riwayat pertama dilaporkan oleh Ibnu Abi Hatim yang bersumber dari Ibnu Abi Mulaikah. Riwayat ini menjelaskan bahwa ketika fathu Makkah, Bilal naik ke atas ka’bah untuk adzan. Beberapa orang yang ada di sekitarnya mempertanyakan secara sinis “apakah pantas budak hitam adzan di atas ka’bah? Maka yang lainnya menjawab, “sekiranya Allah membenci orang ini, pasti Allah akan menggantinya”. Kemudian ayat ini (QS. Al-Hujurat [49]: 13) turun sebagai penegasan bahwa dalam Islam tidak ada diskriminasi, dan yang paling mulia adalah yang paling taqwâ.
Dengan demikian, teks di atas sekali lagi, jelas mengandung visi dan prinsip kesetaraan atau egalitarianisme kemanusiaan yang tentunya dapat dan harus menjadi basis etis dalam setiap hubungan interaksi sosial berorganisasi. Karena itu, seharusnya tidak lagi ada diskrimisai, penindasan atau exploitation of man by human being (eksploitasi manusia atas manusia). Apalagi kemudian sampai menjastifikasi objek/ummat/kaum yang terlibat dalam organisasi tersebut.

c. Al-‘Adâlat (Keadilan)
Doktrin Islam yang hampir dekat kepada kesadaran religius ketaqwaan, dan karena itu, mengandung visi kesetaraan (equality) atau egalitarianisme kemanusiaan adalah al-adâlat (keadilan). Al-Quran menyatakan “Berlaku adillah kamu, karena adil itu lebih dekat kepada taqwa” (QS. al-Maidah [5]: 8). Makna dasar dari kata adil itu sendiri adalah “sama” (sawiyyat), penyamarataan (equalizing) dan “kesaman” (levelling); “memperlakukan sama atau tidak membedakan seseorang dengan yang lain”, suatu makna yang sama dengan pesan dasar taqwa. Oleh karena itu, implikasi bertaqwa adalah bersikap adil terhadap sesama manusia. Menurut Sayid Quthub, keadilan (adil) ini merupakan dasar persamaan sebagai asas kemanusiaan yang dimiliki oleh setiap orang.
Dalam beberapa tempat, Al-Quran memerintahkan untuk berlaku adil terhadap setiap kelompok, baik terhadap diri sendiri, keluarga maupun terhadap kaum kerabat. Bahkan Al-Quran juga memerintahkan untuk berlaku adil kepada musuh dan tidak menjadikan kebencian sebagai penghalang untuk berlaku adil. Ide atau prinsip keadilan inilah yang harus menjadi prinsip dasar dalam memperlakukan semua orang secara sama, adil dan tidak diskriminatif, baik dalam pengelolaan sumberdaya ekonomi, politik, sosial-budaya dan pendidikan, maupun dalam penetapan hukum. Ide keadilan ini pula yang harus mendorong adanya suatu gerakan keadilan dalam membela dan memperjuangkan hak-hak kaum lemah dan tertindas. Sebab, keadilan tidak akan tercipta tanpa membebaskan golongan masyarakat lemah dan marjinal dari penderitaan.

d. Jihâd
Manifestasi tauhid untuk menciptakan masyarakat egaliter dan berkeadilan, di mana kaum lemah, orang miskin, dan hina papa diperlakukan dengan penuh hormat, diperlukan suatu ‘perjuangan’ untuk melawan segala bentuk ketidakadilan dan penindasan. Doktrin Islam yang menunjukkan perjuangan tersebut adalah jihâd. Jihad bukanlah ‘perang suci’ untuk mengislamkan kaum kafir, seperti yang diyakini oleh Barat. Sebab, Al-Quran mengutuk semua peperangan sebagai hal yang menjijikkan, dan hanya mengizinkan peperangan untuk mempertahankan diri. Kemenangan perjuangan Nabi Muhammad, bukanlah dengan pedang, melainkan dengan menggunakan kebijakan anti kekerasan yang kreatif dan jujur.
Jihad dalam Islam sesungguhnya lebih merupakan perjuangan dan praksis, terutama dalam melindungi kepentingan orang yang tertindas dan lemah, atau untuk mempertahankan diri dari serangan musuh. Karena itu, dalam perspektif advokasi, jihad dapat menjadi landasan teologis, sekaligus landasan kerja dalam melakukan pembelaan terhadap kaum papa, lemah, miskin dan tertindas untuk menciptakan struktur sosial yang lebih humanis, egaliter dan berkeadilan. Jihad dalam pengertian ini harus terus dilakukan hingga tidak ada lagi bentuk kezhaliman, penindasan, dan ketidakadilan. Inilah perjuangan (jihad) agung yang menjadi doktrin penting dalam Islam, sehingga jihad dijadikan sebagai syarat untuk menjadi mu’min sejati (al-mu’minûna haqqa) (QS. al-Anfal [8]: 74), dan syarat untuk mendapatkan surga (QS. Ali Imran [3]: 142). Orang yang melakukan jihad dipandang sebagai memiliki kedudukan yang agung di sisi Tuhan (QS. al-Taubah [9]: 20, al-Nisa’ [4]: 95). Sebaliknya Al-Quran mengecam mereka yang duduk berpangku tangan, sementara orang-orang lain di sekitarnya mengalami penindasan (QS. al-Nisa’ [4]: 75 dan 95).

Penutup
Berdasarkan serangkaian uraian di atas, hakikat advokasi dalam pengertian “mahasiswa berlawan dalam organisasi muhammadiyah” adalah upaya mendesakkan terjadinya perubahan ( transformasi struktural ke arah yang berkeadilan ), khususnya dalam membela hak-hak mahasiswa sebagai ummat/kaum/jama’ah lemah dan tertindas yang merupakan bagian dari visi dan ajaran agama itu sendiri. Oleh karena itu, agama banyak memuat landasan teologis maupun praksis bagi suatu upaya advokasi. Landasan teogis dan praksis tersebut dapat ditemukan dalam sejumlah ajaran sosial, pandangan terhadap kaum lemah, dan dalam beberapa doktrin serta ajaran fundamentalnya seperti tawhîd, al-musâwah, al-‘adalah, dan jihâd. Allahu a’lam bissawab.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar